Wanita ASEAN Pertama Pendaki Gunung Everest Dari Indonesia!

Pada tanggal 26 September 1996, seorang wanita kelahiran Yogyakarta, 6 Juli 1967, anak ke-6 dari delapan bersaudara dari pasangan Marcus Mariun dan Ana Suwarti yang bernama Clara Sumarwati, tercatat sebagai wanita pertama berwarga negara Indonesia dan sekaligus wanita pertama di ASEAN yang mencapai puncak tertinggi di dunia, Gunung Everest. Nama Clara Sumarwati tercatat sebagai penakluk Everest yang ke-836. Nama dan tanggal pencapaiannya tercatat antara lain di buku-buku Everest karya Walt Unsworth (1999), Everest: Expedition to the Ultimate karya Reinhold Messner (!999) dan website EverestHistory.com. Ketiga referensi di atas adalah referensi handal akan segala sesuatu yang berkaitan dengan pendakian gunung di dunia.
 

Tahun 1990, setelah ia menyelesaikan pendidikannya di Jurusan Psikologi Univ. Atmajaya. Ia memilih bergabung dengan tim ekspedisi pendakian gunung ke puncak Annapurna IV (7.535 mdpl) di Nepal. Januari 1993, Clara bersama tiga pendaki puteri Indonesia lainnya menaklukkan puncak Anconcagua (6.959 mdpl) di pegunungan Andes, Amerika Selatan.

Pendakian Gunung Everest tahun 1996, bukan ekspedisi Everest yang pertama bagi Clara. Pada tahun 2004, ia bersama lima orang dari tim PPGAD (Perkumpulan Pendaki Gunung Angkatan Darat) berangkat tetapi hanya mampu mencapai ketinggian 7.000 meter karena terhadang kondisi medan yang teramat sulit dan berbahaya di jalur sebelah selatan Pegunungan Himalaya (lazim disebut South Col). Kegagalan mencapai puncak saat itu justru membuat Clara Sumarwati semakin penasaran dan bercita-cita untuk mengibarkan bendera Merah-Putih di puncak Everest. Pada 17 Agustus 1995, tepat 50 tahun Indonesia merdeka. Sebanyak 12 perusahaan ia hubungi untuk mendapatkan sponsor. Biaya yang ia butuhkan tidak sedikit, mencapai Rp 500 juta, karena memang biaya yang harus dikeluarkan, oleh siapapun yang ingin menaklukkan Everest tidak murah. Memerlukan biaya yang cukup besar. Setelah memnunggu sekian lama tidak ada jawaban. Menurut Clara, bahkan ada pihak perusahaan yang meragukan kemampuannya sehingga enggan memberi sponsor.

Salah satu pihak yang ia hubungi untuk sponsor adalah Panitia Ulang Tahun Emas Kemerdekaan Republik Indonesia, yang dibawahi Sekretariat Negara. Clara dipanggil menghadap pada bulan Agustus 1995 dan mendapat konfirmasi bahwa Pemerintah bersedia mensponsori ekspedisinya. Serta merta Clara menjadwal ulang ekspedisinya. Ternyata pengunduran jadwal, mempunyai makna tersendiri karena pada tahun 1995 terjadi badai dahsyat di Himalaya yang menewaskan 208 pendaki dari berbagai negara. Berikut ini adalah suatu penuturan langsung Clara Sumarwati kepada majalah Gatra di tahun 1996 tentang pengalamannya mulai dari persiapan hingga mencapai puncak Everest.

“ Secara fisik sebenarnya kami sudah siap,” kata Clara. Kesiapan fisik memang dilatihnya sejak ide pendakian itu muncul di benaknya. Mulai pukul 07.00, ia berlatih lari mengelilingi Stadion Senayan, Jakarta, selama dua jam, di bawah pengawasan Gibang Basuki, anggota Komando Pasukan Khusus berpangkat sersan dua. Kemudian sore hari, ia melatih otot di Pusat Kebugaran Hotel Grand Hyatt, Jalan Thamrin, Jakarta. Sedangkan siang, ia berkeliling keluar-masuk kantor untuk mendapatkan sponsor. Agar tubuhnya tahan menghadapi hawa dingin dan salju, Clara berendam di kolam renang Senayan, Jakarta. “Karena terlalu sering, sampai-sampai penjaga kolam renang menganjurkan agar kami membeli karcis langganan,” kata Gibang Basuki. Selain itu, sebulan sekali Clara melakukan latihan naik-turun gunung sambil membawa beban. Mulai dari Gunung Gede, Jawa Barat, sampai ke puncak Soekarno di Pegunungan Jayawijaya, Irian Jaya.

Di samping berendam selama dua jam di sebuah kali kecil di Suryakencana, Jawa Barat (ini juga untuk melatih fisik agar tahan terhadap udara dingin), Clara melakukan latihan mendaki dengan kemiringan 90. Di Citatah, Jawa Barat, misalnya, dengan tali, ia naik-turun Gedung Pemadam Kebakaran yang tingginya sekitar 30 meter. Latihan yang biasa disebut rapling atau turun monyet itu juga dilakukan di celah-celah Tebing Singgalang, Padalarang. “Latihan ini yang paling menyeramkan,” kata Clara, yang juga berlatih memanjat tebing dengan jari-jemarinya.

Kenyang menjalani semua latihan berat tadi, barulah Clara bersama Gibang Basuki mengurus izin mendaki. Mengingat misi pendakian solo (tunggal), lewat jalur utara, maka surat izinnya dikeluarkan oleh Pemerintah Cina, di Beijing. Dan berkat bantuan seorang warga Australia, mereka berhasil mendapatkan izin dari China Mountain Association ( CMA ).

China Tibet Mountaineering Association ( CTMA ), yang berperan sebagai penerjemah sekaligus, “Untuk mempermudah prosedur di perbatasan Cina-Tibet,” kata Clara.

Kesangsian akan peristiwa bersejarah yang dicatatnya itu datang dari berbagai pihak di tanah air, semata-mata karena dianggap tidak memberi cukup bukti, contohnya seperti foto yang menunjukkan ia memegang bendera yang tertancap di puncak. Namun di berbagai sumber pencatatan dunia, Clara diakui sebagai penakluk puncak Everest ke-836. Masyarakat pendaki gunung internasional pun sudah maklum bahwa Clara adalah orang Indonesia dan juga orang Asia Tenggara pertama yang sampai ke puncak Everest.


Kisah heroik Clara di atas berbanding terbalik dengan kondisi ia saat ini. Nasib Clara Sumarwati, sungguh mengenaskan. Wanita Indonesia dan Asia Tenggara pertama yang berhasil mencapai Puncak Everest itu mengalami gangguan jiwa. Clara kini menjalani perawatan di Rumah Sakit Jiwa (RSJ) Prof dr Soerojo, Magelang, Jawa Tengah.

Humas RSJ dr Seorojo, Saiful, menjelaskan Clara sudah berulangkali menjalani perawatan di RSJ tersebut. Terakhir Clara masuk pada 30 Juni 2009 lalu. Menurut kakaknya, Elizabeth Sumaryati, Clara mengalami stres dan kerap marah-marah. Ini adalah kali ketiganya wanita tersebut menjalani perawatan di RSJ. Dia pertama kali dirawat pada tahun 1997. Dan pada tahun 2000, Clara menjalani perawatan jalan. "Tetapi kini jiwanya terguncang lagi. Kemungkinan akibat kurang perhatian dan tidak mengkonsumsi obat secara rutin," ungkap Saiful.

Kisah pilu wanita berprestasi tersebut sepertinya tidak diketahui banyak pihak. Sebab sekian lama dia menjalani perawatan di RSJ, tak ada yang memperdulikan. Bahkan, pengakuan Clara tentang prestasi gemilangnya pun tak ada yang mempercayainya. Termasuk pihak RSJ Soerojo sendiri. 




http://www.freewebstore.org/Rainier-Indonesia/

Carstensz Pyramid, Puncak Jaya, Papua

Carstensz Pyramid gunung beratap salju di Indonesia yang berada di Papua banyak di impikan oleh banyak pendaki untuk bisa menjejakkan kaki di puncaknya. Selain karena dia adalah puncak tertinggi di Indonesia, para pendaki akan menemukan sensasi berbeda yang tidak didapatkan di hampir semua karakter gunung di Indonesia, yakni atapnya Indonesia ini beratap salju.


Tetapi salju ini diperkirakan akan menyusut dan mengering pada tahun 2024, hal ini disebabkan oleh pemanasan global. Perhitungan tersebut didasarkan atas analisis data empiris menggunakan pendekatan linier yang dikerjakan Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika. Jadi bukan tidak mungkin suatu saat pegunungan ini akan kehilangan salju seperti yang terjadi di Gunung Kilimanjaro, Afrika.

Puncak Carstensz Pyramid memiliki ketinggian 4884 M dpl ( 16023 ft ). Lokasi koordinatnya berada pada S 04°04.733 dan E 137°09.572, terletak di sebelah barat Central Highland yang disebut dengan Jayawijaya dan pegunungan Sudirman. Banyak yang mengira bahwa puncak Jayawijaya sama dengan Carstensz Pyramide, padahal kedua puncak ini bersebelahan letaknya.

Pada tahun 1623 Navigator dari Belanda John Carstensz menjadi orang pertama yang membawa kabar ke daratan Eropa tentang adanya puncak es di negara tropis di garis eografis equator Barat Papua Nugini. Hasil laporannya ditanggapi dengan gelak tawa oleh publik pada saat itu. Baru pada tahun 1899, selang 3 abad lamanya ekspedisi Belanda yang sedang membuat peta di situ membenarkan apa yang di sampaikan John Carstensz. Maka namanya di abadikan di situ.


Gunung ini memang terletak di Indonesia, namun pendaki yang menyemarakkan dengan menjelajahi punggungannya kebanyakan malah dari pendaki luar negeri bukan pendaki lokal. Tahukah Anda, setiap tahunnya ada sekitar 200 - 300 pendaki luar negeri yang mengeksplore gunung ini, sementara pendaki Indonesia hanya puluhan orang saja. Memang terlihat aneh, namun inilah faktanya yang terjadi di lapangan. Usut punya usut pendaki lokal terkendala dalam hal perijinan.

Untuk mendaki gunung ini ada dua akses, yaitu melalui Freeport dan Ilaga. Galih Donikara, seorang senior Wanadri menyebutkan untuk mendaki gunung ini harus memiliki rekomendasi dari kantor Menpora, Kapolri, BIA – Intelejen Indonesia, Menhutbun / PKA, PT Freeport Indonesia ( PTFI ). Kalau mau lewat Tembagapura ditambah dari Federasi Panjat Tebing Indonesia ( FPTI ).



Itu semua harus diurus di Jakarta. Lalu di Jayapura, rekomendasi dari Bakorstranasda dan Kapolda harus dikantongi. Di Timika, rekomendasi EPO dan izin PTFI untuk fasilitas lintasan. ”Terakhir di Tembagapura, koordinasi dengan Emergency Response Group ( ERG ) untuk penanganan Emergency Procedur dan aparat Satgaspam untuk masalah keamanan lintasan,” jelas pendaki gunung yang sempat tergabung dalam ekspedisi Indonesia – Everest ’97 ini.

Rentetan panjang daftar surat rekomendasi ini yang akhirnya banyak membuat pendaki kita lebih memilih mendaki luar negeri. Sementara untuk akses Ilaga, dibutuhkan lebih banyak lagi biaya dan waktu yang lebih lama untuk mencapai kemah induk.


Seorang petualang kawakan asal kota Malang "Bambang Hertadi Mas" pada tahun 1987 sempat mengurungkan niatnya mendaki puncak Carstensz dan lebih memilih berekspedisi ke Kilimanjaro yang ada di Tanzania. Saat itu ia berkomentar, ”Mending sekalian ke luar ( negeri ), toh ongkos dan susahnya proses perizinan relatif tidak jauh berbeda”.

RUTE
Ada 3 rute utama untuk mencapai puncak Caratensz ini. Yang pertama biasa disebut dengan rute Harrer ( Harrer’s Route ). Rute ini merupakan rute yang paling mudah untuk dilewati. Meskipun mudah, tidak berarti segalanya akan mudah dalam menaklukkan puncak Jaya ini.

Harrer’s route menempuh perjalanan untuk naik dan turun sekitar 12 sampai 15 jam. Tingkat kesulitannya berkisar antara 3 - 4 standar UIIA. Kesulitan yang ada dalam menempuh rute ini adalah ketika berada di bawah puncak Jaya. Kemiringan tebing yang curam, sampai dengan 10 - 15 derajat setinggi kira - kira 80 meter, membutuhkan ekstra kehati - hatian.


Standar UIIA menyatakan bahwa kesulitan dalam hal ini adalah 5 - 5+. Pengalaman dan pengetahuan yang cukup dalam hal climbing merupakan bekal utama. Bebatuannya cukup kuat dan tidak mudah longsor / lepas. Kesulitan yang akan dihadapi akan lebih besar lagi ketika mencapai bebatuan yang bergerigi dengan overhang wall yang berkisar 10 meter, dengan tingkat kesulitan 6 - 7+ standar UIIA. Bagi pendaki pemula hal ini bisa diatasi dengan menggunakan Jumar sebagai alat bantunya.

Rute yang kedua adalah East Ridge. Rute ini merupakan pertengahan antara rute Harrer dan rute yang paling sulit. Jalan yang ditempuh akan lebih jauh dan tentunya juga akan lebih lama.


Rute yang ketiga adalah American Direct. Rute ini merupakan rute yang akan menempuh perjalanan langsung ke puncak. Rute ini memerlukan skill, pengalaman, dan juga pengetahuan yang memadai tentang Climbing. Yang terburuk dari rute ini adalah, tingkat kesulitan yang semakin tinggi ketika mendekati puncak, yaitu tebing yang curam, dinding dari puncak Cartensz.


Source: Belantara Indonesia



http://www.freewebstore.org/Rainier-Indonesia/

Danau Kelimutu: Keajaiban air tiga warna berbeda


Mungkin sebagian dari Anda sudah pernah menjajal trekking ke Danau Kelimutu namun sebagian mungkin masih bermimpi untuk mengunjunginya. Danau yang memiliki tiga warna ini teletak di puncak Taman Nasional Kelimutu. 

Perjalanan dengan mobil sewaan berkapasitas 7 kursi dapat membuat Anda terhibur dengan pemandangan mengesankan disepanjang jalan selama beberapa jam. Perjalanan berliku yang menghubungkan pulau sepanjang 350 km ini bagaimana pun juga merupakan harga yang pantas untuk keindahan panorama Flores yang patut untuk diperbincangkan. 

Taman Nasional Kelimutu merupakan taman nasional terkecil dari enam taman nasional di Bali dan Nusa Tenggara. Akan tetapi, ukuranya tidak begitu penting ketika Anda menyaksikan keindahan alam yang ditawarkan taman nasional ini. Di sini terdapat tiga danau yang terletak di puncak Gunung Kelimutu, ketiga danau tersebut memiliki nama yang sama dan popular dikenal sebagai Danau kelimutu. Setiap danau memiliki warna dan arti masing-masing. Ketiga danau itu diyakini merupakan tempat bersemayamnya roh-roh dan juga diyakini memiliki kekuatan alam yang sangat dahsyat. 

Danau Kelimutu dipopularkan seorang warga Belanda bernama Van Such Telen pada tahun 1915. Keindahannya semakin dikenal luas setelah Y. Bouman melukiskan keindahan dan perubahan warna air danau tersebut dalam tulisannya tahun 1929.

Untuk mencapai lokasi danau, Anda dapat memulai dari Moni, kota kecil yang merupakan basecamp para backpacker.Pemandangan indah disepanjang jalan menuju lokasi danau sangatlah indah. Danau paling barat bernama Tiwu Ata Mbupu yang berarti ‘danau jiwa-jiwa orang tua yang telah meninggal’. Danau yang berada ditengah disebut danau Tiwu Nuwa Muri Koo Fai atau ‘danau untukjiwa-jiwa muda-mudi yang telah meninggal’. Danau yang paling timur disebut Tiwu Ata Polo atau ‘danau untuk jiwa-jiwa untukorang selalu melakukan kejahatan’. Warna ketiga danau tersebut selalu berubah-ubah. 

Ada danau lain di dunia ini yang dapat berubah warna seperti Danau Biru di Gunung Gambier,di Australia Selatan, yang perubahan warna birunya menjadi warna abu-abu dan dapat diprediksi.Ada pula Danau Yudamari di Gunung Nakade, Jepang, yang perubahan warnanya dari hijau toska menjadi hijau.Perubahan warna air Danau Kelimutu tidak dapat diprediksi. Kadang-kadang, warnanya bisa biru, hijau dan hitam dan lain waktu bisa berwarna putih, merah dan biru dan beberapa waktu yang lalu berwarna coklat tua. 

Secara ilmiah perubahan warna Danau Kelimutu merupakan faktor kandungan mineral, lumut dan batu-batuan di dalam kawah dan juga pengaruh cahaya Matahari. Para ilmuwan yakin bahwa danau ini terbentuk dari erupsi gunung vulkanik pada zaman purba. Fenomena ini telah menarik perhatian para ahli geologi karena keberadaan danau yang memiliki tiga warna yang berbeda namun berada di gunung yang sama ini. Masyarakat lokal di Moni, yakin bahwa orang-orang yang tinggal di sekitar danau telah berbuat jahat dan meninggal.

Danau kelimutu merupakan bagian dari Taman Nasional Kelimutu. Titik tertinggi taman nasional ini adalah 5,679 kaki yang terletak di gunung Kelibara (1,731 meter) dan Gunung Kelimutu setinggi 5,544 kaki atau (1,690 meter). Taman Nasional Kelimutu merupakan habitat bagi sekitar 19 jenis burung yang terancam punah diantaranya punai flores (Treron floris), burung hantu wallacea (Otus silvicola), sikatan rimba-ayun (Rhinomyias oscillans), kancilan Flores (Pachycephala nudigula), sepah kerdil (Pericrocotus lansbergei), tesia Timor (Tesia everetti), opior jambul (Lophozosterops dohertyi), opior paruh tebal (Heleia crassirostris), cabai emas (Dicaeum annae), kehicap flores (Monarcha sacerdotum), burung madu matari (Nectarinia solaris), dan elang Flores (Spizaetus floris). 

Disini juga dapat ditemui tikus gunung (Bunomys naso), banteng (Bos javanicus javanicus), kijang (Muntiacus muntjak nainggolani), luwak (Pardofelis marmorata), trenggiling (Manis javanica), landak (Hystrix brachyura brachyura), dan kancil (Tragulus javanicus javanicus). 

Masyarakat lokal yakin bahwa danau ini merupakan tempat jiwa orang yang sudah meninggal beristirahat. Area Kelimutu dikelilingi hutan yang ditumbuhi beragam tumbuhan yang jarang ditemukan di tempat lain di Flores. Selain pohon pinus, terdapat juga tumbuhan paku, tumbuhan marga Casuarina, redwood dan bunga edelweiss. Hutan pinus tumbuh subur di ketinggian Gunung Kelimutu. Area lain dari gunung ini tandus dengan pasir dan tanah yang tidak stabil. Masyarakat setempat yakin bahwa Gunung Kelimutu merupakan gunung kramat dan merupakan sumber kesuburan bagi tanah disekitarnya.

Transportasi

Kelimutu terletak di Desa Koanara, Kecamatan Wolowaru. sekitar 66 km dari kota Ende dan 83 kilometer dari Maumere. Moni merupakan kota yang paling dekat, terletak di kaki Gunung Kelimutu. Kota kecil ini merupakan pintu gerbang menuju Danau Kelimutu. Jarak antara Moni dan Kelimutu sekitar 15 km.


Anda bisa menggunakan ojek, mobil, atau moda transportasi umum untuk membawa ke area parkir sebelum menuju puncak Gunung Kelimutu. Terdapat bus ke Ende dari Maumere yang melewati Moni. Orang setempat menyebutnya bis kayu atau oto kol. Dari sana, Anda harus bejalan sekitar 15 km menuju lokasi danau.

Setiap hari, tersedia penerbangan dari Denpasar dan Kupang ke Maumere. Jika Anda ingin informasi lebih lengkap silakan menuju transportasi di Labuan Bajo atau Flores. 

Akomodasi

Moni hanya menawarkan kesederhanaan yang mungkin cocok bagi backpacker. Bungalow di sini jauh dari mewah. Jika Anda ingin menginap ditempat yang lebih nyaman maka Maumere merupakan pilihan yang tepat karena jaraknya hanya 4 jam.Di Ende juga dapat menjadi pilihan dimana ada Grand Wista Hotel yang nyaman. 


Kelimutu Crater Lakes Ecolodge dibangun tahun 2010 dan hanya berjarak sekitar 20 menit dengan berkendara ke Taman Nasional Kelimutu. Disini tersedia air hangat dan juga kamar mandi bersih. Tempat ini merupakan hotel yang ramah lingkungan. Sejauh ini, resor tersebut merupakan resor dan akomodasi terbaik. Wisatawan yang berbulan madu dan backpacker memilihnya untuk menginap. 

Desa Koanara, Kelimutu, Ende 
Telp: +62 361 7474 205 / 7474 204 
HP: +62 813 39776 232 
Email: reservation@ecolodgesindonesia.com 
www.ecolodgesindonesia.com 

Watugana Bungalow merupakan penginapan yang nyaman dan cocok bagi backpacker. Bungalow ini memiliki 5 kamar yang terletak di lantai pertama dan yang lainnya (baru selesai dibangun) berada di lantai atas. Setiap kamar memiliki kamar mandi masing-masing dan juga kelambu. Harganya berkisar antara Rp150.000,- sampai Rp250.000,-. Untuk memesan kamar Anda harus yakin bahwa John (Penjaga bungalow) memberitahu Anda mengenai ketersediaan kamar. Terkadang, di Moni, siapa yang paling cepat memesan maka berpeluang untuk mendapatkan kamar walaupun Anda sudah memesan sejam atau sehari sebelumnya.Telp: +62 813 3916 7408 (John). 

Bintang Lodge pada saat ini hanya memiliki satu kamar tapi interiornya masih baru dan bersih. Ruangannya ber-AC dan memiliki air panas, tersedia juga kafe yang bernama Bintang Café. Kamarnya dibandrol seharga Rp250.000,- permalam. 

Hotel Arwanti berada di area Moni. Hotel ini memiliki dua kamar dengan kamar mandi sederhana. Bungalow ini merupakan bagian dari Cafe Arwanti dan restoran yang dikelola oleh orang setempat bernama Andre. 

Hotel Flores Sare merupakan hotel yang sering digunakan untuk rapat dan workshop. Lobby-nya menawan dengan patung Yesus hampir mengisi seluruh ruangan. Ruanganya, tidak begitu bagus tetapi Anda dapatmeminta staff-nya untuk membersihkansebelum masuk. Flores Sare dekat denganKelimutu Crater Lake Ecolodge dan dapat dihubungi di nomor: +62 381 21075. 

Sao Ria Wisata memiliki pemandangan yang luar biasa, disekitarnya tardapat kebun sayuran. Sebelum Anda masuk kamar, minta bantuan staff hotel untuk membersihkan semua fasilitas kamar.

Tips

Kelimutu biasanya diselimuti oleh kabut. Anda lebih baik berkunjung pada dini hari sekitar jam 3.30 pagi agar dapat menyaksikan suasana Matahari terbit yang menawan. Suasana inilah yang paling baik untuk menyaksikan pemandangan Danau Kelimutu. 


Waktu terbaik untuk berkunjung ke Danau Kelimutu adalah bulan Juli dan Agustus. Silakan pesan hotel tempat Anda menginap dua bulan sebelum kunjungan.



http://www.freewebstore.org/Rainier-Indonesia/

Track Hiking Terbaik Dunia: 15 Jalur Klasik

Selama dekade terakhir, penulis Peter Potterfield telah mendaki lebih dari 10.000 mil di atas enam benua untuk penelitian daftar ini. Di sini ia memberikan ringkasannya, 15 perjalanan pendakian terbaik di dunia, termasuk Patagonia, Tasmania, Newfoundland, dan Petra. Baca lebih lanjut dalam bukunya Classic Hikes of the World atau bukunya Classic Hikes of North America. 

Kungsleden, Sweden


Photograph by Bernd Jonkmanns, laif/Redux
By Peter Potterfield

Abisko Mountain Station to the Saami Village of Nikkaluokta

Round-Trip: 65 miles, 3 to 5 days
 
Waktu terbaik untuk Pergi: Orang-orang Eropa melakukannya pada bulan Agustus, ketika mereka mendapatkan waktu liburan, jadilah berani dan pergilah pada awal September untuk suasana menyendiri yang otentik dan "no bug".

Seratus kilometer di dalam Lingkaran Arktik, legenda Swedia 275 mil Kungsleden ("The King Trail") dimulai dari melintasi atas padang gurun besar dan berakhir di Eropa Barat. Bagian utara bertiup ini menembus lanskap Arktik besar Swedia melalui hutan birch, tundra terbuka, dan gletser besar sebelum melintasi bahu puncak tertinggi Swedia, 6926 kaki Gunung Kebnekaise. Dengan pondok nyaman di sekitar area itu satu hari terpisah menjamin Anda mendapat perlindungan dalam cuaca buruk. Jembatan suspensi kokoh mengambil bahaya dari sungai besar. Getaran di sini "jauh di utara," dengan kekosongan jelas dan cahaya rendah-siku yang menggugah jiwa.

Insider Tip: Rute ini dapat dilakukan dari kedua arah, tetapi melakukannya utara ke selatan, karena "keeps the sun on your face—no small consideration in the Arctic."


Grand Canyon Hike, Arizona



Photograph by Bill Hatcher, National Geographic
By Peter Potterfield

Rim to Rim to Rim

Round-Trip: 44 miles, 4 to 6 days

Waktu Terbaik untuk Pergi: Semua orang melakukan pendakian pada bulan September untuk bulan Oktober atau April-Mei, jadi pergi saat Maret atau November memberi pengalaman yang lebih kontemplatif.

Setiap berjalan-jalan di Grand Canyon anda akan memberi penilaian cukup tinggi pada pendakian Richter, namun rute ini menunjukkan Anda kedua rims dan sungai, menawarkan jalur yang berbeda pada saat masuk dan keluar, dan memberi Anda cukup waktu dalam satu fitur terbesar di Bumi untuk benar-benar menikmati keagungan arsitektur alami. Waktu perjalanan melalui lapisan kue warna-warni dari Dataran Tinggi Colorado untuk senilai dua miliar tahun geologi, dari batu kapur Kaibab di tepi ke kompleks Wisnu di sungai, semua pada "koridor" baik di jalan dengan sumber air yang diketahui dan kamp-kamp yang menyenangkan. 

Insider Tip: Bomb turun dari tepi selatan melalui uber-direct South Kaibab Trail untuk menyeberangi Sungai Colorado di Jembatan Hitam dan berkemah di Bright Angel kamp. Kemudian naik melalui Box, jantung dalam ngarai, sampai Cottonwood Camp dan remote North Rim. Di perjalanan kembali, menyeberangi Colorado di Jembatan Perak dan naik ke tepi selatan melalui Indian Garden melalui Bright Angel Trail, lebih cocok untuk perjalanan menanjak.


Everest Base Camp Trek, Nepal


Photograph by Alex Treadway, National Geographic
By Peter Potterfield

Lukla to Everest Base Camp

Round-Trip: 70 miles, 16 days 

When to Go: Pre-monsoon (March or April) gives you the rhododendrons in bloom and lots of climber action, but post-monsoon (November) gives you drier weather. Go with guide services that use local Sherpa guides, cooks, and porters—it’s part of the experience. 

Arguably the greatest of all high-mountain journeys, this stroll through Nepal’s Khumbu district lets you see three of the highest peaks on Earth (Everest, Lhotse, and Lhotse Sar) in one glance—and dozens more Himalayan giants along the way. A favorite is the view from Thyangboche, called by renowned mountain explorer W.H. Tillman the “greatest view in the world.” But it’s the deep immersion in the Sherpas’ Buddhist culture that will bring you back for the friendly villages, the monasteries, and the polyglot scene of world travelers who come for the high-octane pilgrimage to Everest. 

Insider Tip: Go slow on the way up. Healthy hikers could cover 35 miles in two days, but the need to acclimatize means you’ll take ten days on the trek in to Everest, but only three on the trek out. The enforced downtime allows you to savor the experience—and the culture of people who live there.
Join National Geographic Adventures on a 14-day Himalayan trek to Everest’s Southern Face Base Camp through some of the world’s most spectacular mountain scenery.


Fitz Roy Trek, Patagonia, Argentina


Photograph by Reiner Harscher, laif/Redux
By Peter Potterfield 

El Chaltén to Laguna Torre to Poincenot Camp to Laguna Eléctrico 

Round-Trip: 36 miles, 4 to 7 days 

When to Go: February to March to avoid the crowds of midsummer and enjoy stable fall weather when the infamous Patagonian winds abate

Hike among Argentina’s fabled Fitz Roy Massif, the iconic ridge where the peaks of Poincenot, St. Exupery, and 11,073-foot Fitz Roy itself rise out of the steppes of Patagonia like a vision. This grand tour gives you three views of Fitz at sunrise, with Cerro Torre and Marconi Pass thrown in for good measure. This ramble through Delaware-size Los Glaciares National Park takes you from gnarled, spooky beech forests and open plains to glaciers, roaring waterfalls, and granite monoliths afire with orange dawn light. 

Insider Tip: From Camp Poincenot, hike up in the predawn hours to Laguna de los Tres by headlamp for the full impact of sunrise on the Fitz Roy Massif.


Petra Through the Back Door, Jordan 


Photograph by Heeb, laif/Redux
By Peter Potterfield 

Dana Reserve to Petra 

Round-Trip: 50 miles, 7 days 

When to Go: October through April, when desert temperatures relent—a little. Go with Adventure Jordan, the local company that discovered this 50-mile route through the deserts, mountains, and peaks of Jordan. 

At the top of an ancient stairway carved into the red rock, the narrow defile leads around a sharp bend, and suddenly you are stopped cold. There stands the exquisite carved façade of Al Deir, better known as the Monastery, perhaps Petra’s grandest monument. And you have it to yourself. To enter the Nabataean city of Petra in a small party at the conclusion of almost a week in the rugged wilds of the Kingdom of Jordan is a far more satisfying arrival than pulling into the parking lot with its idling tour buses ten miles away. That’s what makes the weeklong trek unique. 

From the ancient city of Dana, the route leads down to the Feynan Eco-Lodge before crossing the vast arid expanse of Wadi Araba before climbing into the Sharah Mountains past iconic oasis and Bedouin camps toward Petra itself. The off-trail travel through the deserts and mountains can be grueling, exacerbated by the heat, but the hike sets you up to enter Petra in a receptive frame of mind, ready to absorb the mystical qualities of the Rose Red City. 

Insider Tip: Do your research before you arrive. Time in the canyon system of Petra is precious, so it’s best to know what you want to see before you arrive. Besides the iconic sites of the Siq, the Treasury and the Monastery are mystical venues, as are the Place of High Sacrifice and the Great Temple.


Grindelwald, Switzerland 


Photograph by Patitucci Photo
By Peter Potterfield 

First to Lake Bachal to Faulhorn Hut 

Round-Trip: 10 miles if you ride up and walk down, 2 to 3 days 

When to Go: High summer is the season here, but hikable weather often extends into September, when the Europeans are back at work. The Faulhorn closes in October. 

Perhaps the biggest payoff for effort applied in the Alps, this ridiculously beautiful walk takes in the scenic highlights of the Bernese Oberland—including the notorious Eiger and its more impressive sister peak, the fearsome Shreckhorn—looming across Grindelwald’s fairy tale valley. 

All this, and a night or two at the comfortable Faulhorn hut or berghotel, impossibly perched at 8,800 feet on its namesake peak, for just a day’s worth of hiking. And you can shave some time off that by taking a cable car up to First. Walk the whole way from Grindelwald and you’ll earn that beer you’re drinking on the terrace as the setting sun paints the Eiger’s north wall a blood red.
Insider Tip: Even if you ride the lift on the way up, be sure to walk down, and have lunch at Waldspitz, a classic Swiss mountain chalet where you’ll enjoy a tasty rösti watching snow plumes blow off the summit of the Shreckhorn so close it’s scary.


Yosemite Grand Traverse, California, United States 


Photograph by Russ Bishop, Aurora
By Peter Potterfield 

Post Peak Pass to Tuolumne Meadows 

Round-Trip: 60 miles, 6 to 7 days 

When to Go: Reaching as high as 12,000 feet, this trans-Sierra route is open only from mid-July to mid-September. 

It’s hard to say “Sierra in summer” without thinking of granite towers rising above sparkling high-country lakes into deep blue skies. This traverse is a cheat sheet of Yosemite backcountry, touching more than a few of the real high points of the Sierra in just a week, including an ascent of Half Dome via the Cable Route. 

Starting on obscure trails in the Ansel Adams Wilderness with unexpected views of the Minarets and other landmark Sierra Nevada peaks, this hike soon enters Yosemite National Park to follow the unique drainage of the Merced River. The traverse then joins the iconic John Muir Trail for a spectacular finish among the spires of the Cathedral Range. An unexpected highlight is the jaunt through the extensive drainage of the Merced River, the lifeblood of Yosemite Valley, where the route traces the headwaters through waterfalls, granite basins, and channels, interspersed with sprawling, sublime sub-alpine meadows. 

Insider Tip: The trailhead logistics for this trip can be challenging, so make things easy by doing this trip with Southern Yosemite Mountain Guides, who pioneered the route and have mastered the journey from start to finish.


Chilkoot Trail, Alaska and Yukon Territory, U.S. and Canada 


Photograph by Stefan Wackerhagen, Alamy
By Peter Potterfield 

Skagway to Bennett Lake 

Round-Trip: 33 miles, 3 to 5 days 

When to Go: The Coast Range opens up a bit earlier than the Rockies, so you can push the season a bit. Late June to early October works most years, but August has the best weather—and sees the heaviest traffic. 

The very names on this epic route—the Golden Stairs, the Scales, the Stone Crib—are redolent with the suffering of 1898 gold miners, and there’s no mistaking the history here. Both sides of the trail are littered with rusting remains of equipment the miners jettisoned out of exhaustion. More than a century later, the backcountry journey those miners blazed, driven by greed, has become one of the iconic wilderness routes in North America. It’s a natural. The route rises quickly from tidewater to crest Chilkoot Pass at 3,300 feet. But instead of dropping back down, it meanders more than 20 miles through an alpine wonderland, while losing only a thousand feet before returning to its terminus at Bennett Lake. 

Insider Tip: Spanning two national parks, two countries, a state, a province and a territory, Chilkoot Trail makes staging a challenge. Solve that by starting and ending in Whitehorse, Yukon Territory, and use the robust infrastructure for trailhead transport. Take the White Pass and Yukon Railway over the mountains to Skagway, a stupendous ride, and have Alpine Aviation pick you up in a floatplane at Bennett Lake for the outrageous 45-minute flight back to Whitehorse, in plenty of time for a beer on the deck before dinner.


Tonquin Valley, Canadian Rockies, Alberta, Canada


Photograph by Michael Wheatley, Alamy
By Peter Potterfield 

Portal Creek to McCarib Pass to Tonquin Valley and Out via the Astoria River 

Round-Trip: 27 miles, 3 to 5 days 

When to Go: July to September; it can snow any day of the year. 

Watching the sunrise light up the enormous broadside of the Ramparts, throwing golden reflections into the waters of Amethyst Lake, is an experience worthy of any effort expended to get into this wild valley. First photographed in 1915, the unrelenting beauty of the Tonquin Valley, nestled deep in the heart of the Canadian Rockies, has drawn pilgrims ever since—including Ansel Adams, whose very first trip as a Sierra Club photographer was right here. This big hiking loop takes you in over high, scenic McCarib Pass and out via the lovely Astoria River, laying the whole mind-blowing landscape before you in a backcountry journey to rival any. 

Insider Tip: If all those grizzly bears wandering around make you uneasy, consider booking accommodations at two wilderness lodges hidden at the edges of the valley. Founded as horsepacking operations, both the Amethyst Lake Lodge and Tonquin Valley Lodge increasingly cater to hikers looking for a bit of comfort and home-cooked meals in this wild place.


Bay of Fires, Tasmania, Australia 


Photograph by Peter Potterfield
By Peter Potterfield 

Stumpy’s Bay to Bay of Fires Lodge 

Round-Trip: 16 miles, 4 days 

When to Go: October to May is the season for this beach route along the northeastern shore. Go with the Bay of Fires Walk; it’s the only way in or out. 

From the start in Mount William National Park to the finish at the impressive Bay of Fires Lodge, the route never deviates from seemingly endless beaches of blinding white sand and surreal rock formations lapped by a turquoise Tasman Sea. Only the occasional headland of granite boulders, turned blood red by lichen or forested points of shoreline, pushes you up and out of the coves. The Bay of Fires walk is a four-day guided trip; you can’t do it solo, as there is no water on the route so no place to overnight. The first day takes you out to a permanent camp at Forester Beach. The second, longer day finishes at the architecturally striking Bay of Fires Lodge. It’s as green as they come—in fact, you’ll pump your own water up to rooftop tanks for a shower. Day three is the ultimate reward: free time on the stunning Bay of Fires coast with the comforts and fine wine of the lodge at your beck and call. 

Insider Tip: Don’t bother learning to discriminate between the species of snakes on Tasmania—they all have fatal bites. Strikes are rare, however, so just keep your eyes peeled for the slithering black creatures when you’re crossing the headlands.


Long Range Traverse, Newfoundland, Canada 


Photograph by Jerry Kobalenko, Getty Images
By Peter Potterfield 

Western Brook Pond to Gros Morne Mountain 

Round-Trip: 23 miles, 3 to 5 days 

When to Go: Relatively low elevation means this route opens in June and can be hiked until late September. But come prepared: The Long Range Mountains are on the Gulf of St. Lawrence and take the brunt of some of the worst weather in the world. Go with a guide service if you’re not an expert navigator. 

This off-trail traverse takes you from inland fjords lined with 2,000-foot-high granite cliffs draped with wispy waterfalls deep into Gros Morne National Park. The rugged seaside plateau is just one reason Newfoundland is the new mecca for adventure. The landscape here is as dramatic as it is remote: It was carved by glaciers from massive, uplifted blocks of granite that form the expansive plateau, a wild place still loaded with moose and caribou. Good skills with map, compass, and GPS are required here, as no marked or maintained trails penetrate this unique wilderness. So wild is this trek that the park wardens won’t give you a permit unless you carry a locator beacon (they call it a caribou collar). This ensures they won’t have to search the whole park if you fail to emerge on time. 

Insider Tip: The impenetrable alpine krummholz vegetation (called tuckamore on Newfoundland) in Gros Morne is so dense it seriously complicates navigation. One useful technique is to follow “caribou leads,” trails carved through the tuck over centuries by moose and caribou. Then take a GPS waypoint and adjust your vector as required when you pop out the other side. 


Queen Charlotte Track, New Zealand 


Photograph by Amin Akhtar, laif/Redux
By Peter Potterfield 

Ship Cove to Anakiwa 

Round-Trip: 44 miles, 3 to 5 days 

When to Go: Located on the sunny north end of the South Island, near the famed wine growing region of Marlborough, the Queen Charlotte can be done virtually year round. Hike with Marlborough Sound Adventures, who have the logistics wired. 

A unique journey through the sunny hills of the Marlborough Sounds, the Queen Charlotte follows the dragon’s back ridge that separates the blue waters of Queen Charlotte Sound from those of Kenepuru Sound. Water taxis take you from the town of Picton to the start, at Ship’s Cove, where Captain Cook hung out frequently between 1770 and 1779, and the finish at Anakiwa. You can camp the whole way, a style of hiking the Kiwis call “freedom walking,” or choose to turn the jaunt into a cush day-hiking experience not unlike trekking in Nepal—except your gear is carried by boat, not yak. Go luxe, and you can crank 15-mile days and stay every night in comfortable lodges at Furneaux, Punga Cove and Portage. 

Insider Tip: The Queen Charlotte is one of the few tracks in New Zealand open to mountain bikers for part of the season. Go early or late in the season if you want to ride, or choose high summer if you want a more tranquil hike without bikers coming up behind you.


Mountains of the Moon, Uganda 


Photograph by David Clifford, Aurora
By Peter Potterfield 

Central Circuit, Ruwenzori Range 

Round-Trip: 38 miles, 6 to 7 days 

When to Go: December to March, the “dry” season. Go with guides and porters; they know the way and are not expensive. 

When approaching high-altitude glaciers, you don't often hear locals say, “There are elephants here.” But everything about the Ruwenzori Range, Ptolemy's legendary Mountains of the Moon, is unexpected. Looming on the Uganda-Congo border, these peaks make up the highest range in Africa, rising to 16,765 feet at the Margherita summit of Mount Stanley. (Kilimanjaro and Kenya are taller, but they aren’t ranges.) You’ll hike three days through two 14,000-foot passes and mind-bending forests of giant groundsel and giant lobelias to get to the Bujuku Hut, base camp for those wanting to climb Mount Speke. Hike one more day to Elena Hut, base camp for those who want to climb the glaciers, and try for the summit of Mount Stanley for its unique views of the Congo Basin. Two more trail days take you over Scott Elliot Pass, the highest on the circuit at 14,344 feet, and back to the starting point for your eventual return to Kampala. 

Insider Tip: Bring a pair of indestructible camp shoes impervious to moisture, such as Crocs. The circuit can be a muddy mess. Walking in the creek beds often makes for the best progress. It is essential to be able to change into something dry and reasonably comfortable for your feet at day's end.


Kalalau Trail, Kauai, Hawaii, United States 


Photograph by Sergio Ballivian
By Peter Potterfield 

Ke’e Beach to Kalalau Valley 

Round-Trip: 22 miles, 3 to 5 days 

When to Go: May to September for drier weather; April or October for more solitude 

The finest coastal hike in the world, this rugged route through Kauai’s impressive Nā Pali Coast will challenge you physically with tropical heat and steep trails, and scare you with exposure on muddy slopes. But after a day of slogging 11 miles through the fluted cliffs above surf that crashes like howitzer fire on the coast below, you are rewarded with a view of the impossibly serene mile-long arc of golden Kalalau Beach along the shimmering Pacific. The Kalalau Valley itself holds fairy-tale waterfalls and lush tropical jungle, well worthy of exploration, but the highlight is camping right on the beach, with the Western Pacific before you, reflecting the setting sun. 

Insider Tip: It’s hot, and you’ll be tempted, but don’t even think about cooling off with a swim at Hanakapi’ai Beach on the way in. All those small, makeshift memorials are erected in the memory of hikers who thought they might enjoy wading in and were immediately swept out to sea by the violent rips.


Croagh Patrick, Ireland 


Photograph by Karl-Heinz Raach, laif/Redux
By Peter Potterfield 

Summit Climb, Westport, County Mayo 

Round-Trip: 8 miles, 1 day 

When to Go: Spring through fall is best for weather, but the climb can be done year round when the summit isn’t covered with snow and ice. Expect fog, wind, rain, and hail rolling in off the Atlantic at any time. 

A climb of this gnarly, holy peak provides ample beauty, challenge, and spiritual power to really experience this long-settled country. Croagh is the Gaelic word for "sharp mountain," an apt term for this steep ascent of the 2,507-foot mountain where St. Patrick is said to have spent 40 days and nights in prayer at its summit. More than half the people who come to climb the rocky, exposed, and lung-churning trail to the top are not hikers of any stripe, but pilgrims paying homage to St. Patrick, who, with his Celtic cross design, symbolically brought Christians and pagans together. Stunning views of Clew Bay and all of verdant County Mayo are the payoff for making it to the top, with its tiny white chapel. A Guinness in the centuries-old Campbell’s Pub at the base is the mandatory finish. There, the most oft heard phrase is, “Wow, that was the hardest thing I’ve ever done.” 

Insider Tip: Myth says that if you climb Croagh Patrick seven times, your entry into heaven is assured despite previous bad behavior.






http://www.freewebstore.org/Rainier-Indonesia/

Indahnya Wisata Gunung Tangkuban Perahu

Indahnya Wisata Gunung Tangkuban Perahu yang menjadi tujuan wisata populer di kawasan Bandung dan sekitarnya ini memiliki banyak sekali peminat baik itu wisatawan lokal maupun asing. Selain karena namanya yang sudah tersohor karena legenda Sangkuriang, Gunung Tangkuban Perahu memanglah tempat wisata di Bandung yang sangat Indah sekali.Gunung Tangkuban Perahu merupakan salah satu gunung yang berada di Provinsi Jawa Barat, Pulau Jawa, Indonesia. 

Berjarak sekitar 20 km menuju ke arah utara adalah Kota Bandung, dengan rimbun dan banyak pohon pinus serta hamparan hijau kebun teh yang ada di sekitarnya, Gunung Tangkuban Parahu memiliki ketinggian kurang lebihnya adalah sekitar 2.084 meter. 

Bentuk dari gunung ini adalah Stratovulcano dengan memiliki pusat erupsi yang selalu berpindah dari timur ke barat. Jenis dari bebatuan yang dikeluarkan melewati letusan dari gunung ini kebanyakan adalah lava dan sulfur, mineral yang banyak dikeluarkan adalah seperti sulfur belerang, mineral yang dikeluarkan pada waktu gunung sedang tidak aktif adalah uap belerang. 

Gunung Tangkuban Perahu 
Daerah kawasan wisata Gunung Tangkuban Perahu dikelola oleh Perum Perhutanan. Tingkat suhu rata-rata pada setiap harinya adalah sekitar 17 derajat celcius pada waktu siang hari dan bersuhu sekitar 2 derajat celcius pada malam hari. Gunung Tangkuban Parahu juga memiliki kawasan hutan Dipterokarp Bukit, hutan Montane, hutan Dipterokarp Atas, serta Hutan Ericaceous atau hutan gunung. 




Asal-Usul Gunung Tangkuban Perahu


Asal-usul dari Gunung Tangkuban Parahu selalu terkait dengan sebuah legenda Sangkuriang, yang pada kisahnya telah jatuh cinta kepada ibunya sendiri yang bernama Dayang Sumbi. Kemudian demi untuk menggagalkan rencana dan niat anaknya sendiri untuk menikahinya, Dayang Sumbi memberikan syarat agar Sangkuriang dapat membuat sebuah perahu dalam kurun waktu semalam. 

Pada waktu usahanya sudah gagal, Sangkuriang kemudian marah dan kemudian menendang perahu setengah jadi yang dibuatnya tersebut yang kemdudian mendarat dalam keadaan terbalik. Perahu yang telah di tendang Sangkuriang inilah yang kemudian membentuk sebuah Gunung Tangkuban Parahu. 



Status Gunung Tangkuban Perahu 

Gunung Tangkuban Parahu ini masih termasuk dalam kategori gunung berapi aktif yang statusnya terus diawasi terus oleh Badan Direktorat Vulkanologi Indonesia. Diantara beberapa kawahnya juga masih menunjukkan tanda tanda dari aktifnya gunung ini. Beberapa tanda dari aktivitas gunung berapi ini adalah seperti munculnya gas belerang serta sumber-sumber air panas yang berada di kaki gunungnya, di antaranya adalah yang terdapat di kasawan Ciater, Subang. 

Wisatawan yang berkunjung ke Gunung Tangkuban Perahu
Keberadaan dari gunung ini serta bentuk dari topografi Bandung yang seperti cekungan dengan banyak bukit dan gunung pada setiap sisinya semakin menguatkan teori bahwa adanya sebuah telaga besar yang sekarang merupakan kawasan Bandung. 

Para ahli geologi meyakini bahwa kawasan dataran tinggi Bandung yang memiliki ketinggian kurang lebihnya sekitar 709 m di atas permukaan air laut adalah sisa-sisa dari danau besar yang terbentuk akibat pembendungan Ci Tarum oleh letusan gunung berapi purba yang dikenal dengan nama Gunung Sunda dan Gunung Tangkuban Parahu hanya merupakan sisa dari Gunung Sunda purba yang sampai sekarang masih aktif. 

Fenomena seperti ini juga bisa dilihat pada Gunung Krakatau yang berada di Selat Sunda dan kawasan Ngorongoro yang berada di Tanzania, Afrika. Sehingga legenda dari Sangkuriang yang merupakan sebuah cerita masyarakat yang ada kawasan itu diyakini adalah sebuah dokumentasi dari masyarakat yang hidup di kawasan Gunung Sunda Purba terhadap berbagai peristiwa pada waktu itu. 

Rute Perjalanan Aksesibilitas Dengan Kendaraan 

Rute jalan untuk dapat sampai di kawasan obyek wisata Gunung Tangkuban perahu dapat melewati pintu tol Pasteur, lali dilanjutkan menuju ke Jl. Dr. Djunjunan – lanjut lagi dengan berjalan ke Pasirkaliki – kemudian melewati Sukajadi – Setiabudi – Lembang lalu Anda akan sampai ke lokasi Wisata Gunung Tangkuban parahu (Gerbang bagian Atas). 



Bila Anda keluar dari pintu tol Padalarang (lewat Cipularang), bisa mengambil arah menuju ke Cimahi kemudian belok ke arah kiri dan melalui Jl. Kolonel Masturi, lalu teruskan saja mengikuti jalan Kolonel Masturi sampai pada ujungnya (melalui kawasan kecamatan Cisarua dan kecamatan Parongpong, Kab. Bandung Barat), kemudian pada waktu Anda sudah bertemu dengan pertigaan Jl. Raya Lembang, lanjutkan dengan memilih jalan belok kiri dan terus saja mengikuti jalan dan melewati markas Brimob dll. Pada waktu Anda sudah melewati plang Tahu Tauhid yang berada di sebelah kiri maka sekitar 200 meter lagi Anda akan sampai di Gerbang akses menuju ke wisata kawah Gunung Tangkuban Perahu (berada di kiri jalan). 

Alamat Lengkap Gunung Tangkuban Perahu adalah Gunung Tangkuban Parahu, Sukajaya, Lembang, Bandung Barat 40391, Jawa Barat, Pulau Jawa, Indonesia. 

Apabila Anda masih merasa bingung untuk menuju Gunung Tangkuban Perahu, dapat membeli Paket wisata Bandung atau menyewa Mobil di Rental Mobil Bandung yang sudah termasuk supirnya akan dapat mempermudah perjalanan Anda. Yoshiwafa.com juga memiliki beberapa materi referensi tentang Hotel murah di Bandung untuk Anda yang tidak memiliki Budget lebih untuk menyewa hotel berbintang di Bandung. Jika Liburan ke Kota Bandung jangan lewatkan untuk berkunjung ke Trans Studio Bandung. 



Source: Yoshiwafa

http://www.freewebstore.org/Rainier-Indonesia/

10 Pemanjat Tebing Terbaik Yang Mengguncang Dunia

Sebuah studi nasional yang baru-baru ini diterbitkan di Amerika Serikat yang disebut "Outdoor Recreation Tren & Futures" baru saja mengungkapkan bahwa panjat tebing kini termasuk dalam 5 kegiatan teratas untuk pertumbuhan. Survei yang dilakukan di 2.060 peserta menyimpulkan sebagai berikut: 
Tantangan Kegiatan seperti mendaki gunung, panjat tebing & caving diproyeksikan tumbuh 50-86% pada periode ini.
Kegilaan untuk kegiatan petualangan terampil ini telah menemukan penggemar sepenuh hati dan bahkan mengklaim kehidupan beberapa orang yang mencoba untuk mendorong melampaui batas (R.I.P.- Todd Skinner, John Bachar & free solois Dan Osman). Tidak peduli apa bahaya yang terlibat dalam olahraga ekstrim ini, pemanjat tebing sering menemukan diri mereka tergoda oleh kepala yang berputar di ketinggian & wajah dari batu yang bisa membuat pusing pria dengan berat. Saya percaya,adrenalin itu memompa lebih cepat dalam tubuh mereka daripada kita orang normal.


Beberapa pendaki rock terbaik di dunia adalah yang terbaik karena hanya mereka memiliki waktu dan mencetak rekor & inspirasi untuk olahraga yang telah berkembang menjadi hiruk-pikuk di seluruh dunia (lebih dari 10 juta peserta antara 2005-09!). Tak perlu dikatakan panjat tebing ini hanya untuk pria dengan keberanian dan sedikit kemuliaan. Sedangkan Osman adalah seorang tukang kayu dalam kehidupan nyata & hidup dalam kehidupan nomaden meskipun ia adalah salah satu pendaki terbaik dari waktu kita.

Berikut adalah daftar sepuluh pendaki tebing terbaik di planet ini ...

1. Chris Sharma

Chris Omprakash Sharma menghabiskan masa kecilnya di Santa Cruz, California dan telah memulai panjat tebing sejak ia berusia 12 tahun. Memperoleh juara Bouldering Nasional pada usia 14, Chris telah memutuskan panjat tebing adalah denyut nadinya. Pada usia yang ke-15, ia menyelesaikan "5.14c pendakian yang merupakan nilai tertinggi pada pendakian di Amerika Utara pada waktu itu". Dia telah memaku beberapa rute panjat tebing paling sulit di dunia seperti mereka bermain saat anak-anak termasuk Es Pontas & La Rambla. Dengan setumpuk penghargaan untuk namanya, Chris Sharma dengan mudah menjadi salah satu nama terbaik dalam dunia olahraga. Dia juga akan disponsori oleh beberapa peralatan petualangan & olahraga perusahaan terbesar di dunia seperti Petzl, Nutriex, Evolv, Sanuk & Sterling Tali. King of Lines adalah sebuah film yang mengikuti petualangannya & pemanjat dari seluruh dunia dan juga mencerminkan kehidupan pribadinya sebagai seorang pendaki. Chris kini telah pindah ke Spanyol & sibuk menemukan & mengatur rute berikutnya di pegunungan.

Chris mengatakan: "Pendakian hanyalah salah satu cara untuk hidup, menghabiskan waktu dan berkembang dan tumbuh dari satu saat ke saat berikutnya. Itu saja. "

Here’s what he does best…



2. Steph Davis

Steph Davis adalah salah satu dari sedikit pendaki wanita (juga salah satu yang terbaik!) Yang telah berhasil menginspirasi anak muda dari usianya untuk mengambil panjat tebing sebagai suatu kegiatan untuk membebaskan jiwa & ketakutan. Pendakian untuk "cinta" itu selalu menjadi motto nya untuk mengambil beberapa batu yang paling sulit dihadapi. Dia terus menantang dirinya untuk menemukan pikiran dia tidak pernah datang di atas tanah tandus dihuni oleh orang banyak. Masa kecilnya dihabiskan sebagian besar di Illinois, tetapi ia segera pindah ke Colorado saat mengejar pendidikan tinggi. Dropout dari universitas hukum menjadi pilihannya, ia dapat ditemukan "bouldering" di pegunungan El Capitan di Yosemite. Dia adalah wanita pertama untuk free-climb Salathe Wall (El Cap) & kedua untuk free-climb El Capitan hanya dalam satu hari. Steph juga merupakan blogger avid, wisatawan, BASE jumper & wingsuit flyer Dan saat ini berbasis di Moab, tinggal di truk atau tendanya.

This is her Diamond Free Solo video…



3. Catherine Destivelle

Lahir pada 24 Juli 1960 di Oran (Aljazair), Catherine adalah pendaki Perancis & pendaki gunung yang paling mudah dikenal di antara wajah-wajah yang paling dikenal dalam dunia panjat tebing. Dia adalah wanita pertama yang berhasil mendaki Wajah Utara Eiger, sendirian dan juga dalam waktu kurang dari 15 jam. Setelah berhenti, karirnya sebagai seorang fisioterapis, Catherine menjadi pemanjat tebing profesional penuh waktu dengan memasuki kompetisi pertamanya pada tahun 1985. Dia tidak pernah terlihat kembali sejak beberapa pendakian paling populer nya adalah bukti bahwa: 13c rute (Chouca di Boux- rute paling sulit di dunia naik oleh seorang wanita, Bonatti Route - Matterhorn, wajah utara langsung dari Cima Grande di Lavaredo dll) Dia juga seorang pembicara yang sukses & membantu berbagai perusahaan dalam memahami lebih banyak tentang risiko,  dan mencapai tujuan dll.

Catch Catherine in action at Devil’s Tower…



4. Dean Potter

Dean Potter lebih dikenal sebagai pendaki free climber Amerika & BASIS Jumper selain master dalam beberapa olahraga ekstrim lain yang sejenis seperti BASE Lining & highlining. Kecepatannya & kontrol dalam olahraga ini sangatlah luar biasa dan pendakian yang paling terkenal termasuk Yosemite & Patagonia. Dia juga bertanggung jawab karena telah menciptakan banyak rute baru & mendaki The Reticent Wall, salah satu pendakian yang paling sulit di El Capitan di bawah 35 jam. Karena pendakian nya Delicate Arch (Arches National Park), ia menjadi subyek kemarahan publik karena dianggap lebih menjadi "symbol of  the state’s wild beauty". Dia kehilangan sponsor nya dengan Patagonia (sebuah perusahaan pakaian) setelah kejadian pada tahun 2006. Hard ascents, free solo ascents & speed ascents  adalah beberapa fitur lain yang dikenal dari dirinya. Ketika datang ke BASIS Jumping, ia telah melakukan beberapa lompatan yang paling mendebarkan di dunia. Anda dapat memeriksa profilnya di sini untuk mengikuti karyanya & mendatang proyek / berita / fitur: Climbingandmore.com.

Dean mengatakan: "Soloing for me is about being completely in the moment, not worrying about the past or future, but just being right here, right now. That’s why I do it."



5. Alex Honnold


Alex adalah tembok besar free solo climber dan telah memecahkan kata tidak. dari rekor kecepatan, khususnya Yosemite Triple Crown. Dia berbagi rekornya saat ini dengan Hans Florine. Religius, ia menganggap dirinya "ateis militan" dan mencintai membaca tentang filsafat, sastra, ekonomi & tentu saja, environmentalisme. Pemanjatan favoritnya adalah Yosemite karena dinding yang menantang & cuaca yang bebas. Lahir di Sacramento, California, Alex mengambil minat dalam pendakian di usia muda dari 11 tahun & keluar dari UC Berkeley di mana ia pergi untuk belajar teknik. Dia saat ini tinggal di van & menghabiskan kurang dari $ 1000 pada hidupnya. Terinspirasi oleh orang-orang seperti Peter Croft & John Bachar, ia dianugerahi "Golden Piton" untuk prestasinya dalam pendakian.

Alex mengatakan "Dude ..." & "Mellow ..."

Alex in ascent of Half Dome in assoc. with National Geographic…



6. Lynn Hill

Lynn Hill pernah membuat rekor selama 10 tahun dengan memanjat 3500 ft. Wajah vertikal El Capitan tanpa memegang setiap tangan atau kaki buatan. Dia memimpin gerakan dorongan perempuan untuk masuk ke panjat tebing dalam olahraga yang didominasi kebanyakan laki-laki. Sebuah olahraga pendaki terkenal di 198o, Lynn dianggap sebagai wanita pendaki legenda & telah menginspirasi banyak wanita pemanjat tebing abad ini. Pada tahun 2005, ia mulai mendaki kamp di Amerika Serikat untuk mempopulerkan panjat tebing di kalangan anak-anak. Patagonia, perusahaan gigi & pakaian mensponsori dirinya. Orang pertama yang free The Nose, rute teknis yang pernah dianggap mustahil untuk didaki.

Lynn mengatakan “I’m a curious person. That, I think, is a quality that’s necessary for education: if you’re not curious then you’re not interested, and if you’re not interested then you’re not going to learn. I got an education in biology so I could go into physical therapy — that was the original idea — or become a doctor. But I figured that doctors had to work too much…“

Lynn for Patagonia at Hueco Tanks…



7. Tommy Caldwell

Tommy bersama dengan istrinya Beth Rodden, menjadikannya sebagai pasangan pertama untuk menyelesaikan The Nose. Pendaki Amerika ini telah membuat tanda di berbagai jenis panjatan seperti sport climbing, big wall speed climbing, big wall free climbing dll Dia melakukan pendakian pertama pada beberapa rute olahraga terberat & mond-blowing seperti Kryptonite & Flex Luthor (Colorado). Dia baru-baru ini telah melakukan free fall ascent pertama dengan Alex Honnold. Hidupnya tidak kekurangan dari petualangan dalam arti sebenarnya; dia & kemudian istrinya Beth Rodden bersama dengan teman-teman pendaki, John Dickey & Jason Smith pernah ditahan dan disandera di Kyrgyzstan sekali tapi berhasil melarikan diri ketika ia mendorong dari satu penculiknya dari tebing. Dia menyelesaikan banyak pendakian terkenal seperti Magic Mushroom & The Honeymoon is Over.

Tommy mengatakan “I’m somebody who finds something to focus on – some goal – and then I work toward that. And climbing is perfect for that.”

Tommy & Alex doing El Cap’s hardest route…



8. Beth Rodden

Beth, yang sebelumnya menikah dengan Tommy Caldwell, adalah pendaki wanita termuda untuk menyelesaikan pendakian kelas 5.14a. Dia mulai mendaki pada tahun 1995 di gym pendakian lokal di Davis, California. Dia telah ditampilkan dalam banyak film dokumenter & film di panjat tebing dan pendakian karena prestasi baik nya.

Beth Rodden Visiting the Crux…



9. John Long

Jika ada orang lain di dunia yang layak menjadi pahlawan komik petualangan selain TinTin, ini dia orangnya. Cerita pemanjat tebing Amerika John Long pergi jauh dan menjadi imajinasi orang banyak. Dia memiliki lebih dari 42 judul di bawah namanya & lebih dari 2 juta buku yang tercetak. Setelah lulus dari California, ia kemudian menjadi salah satu anggota pendiri kelompok petualangan elit yang disebut "Stonemasters". Kelompok ini terdiri dari beberapa pemanjat tebing paling terkenal yang kita kenal sekarang, meskipun relatif tidak dikenal saat itu di tahun-tahun remaja mereka. John tidak pernah membatasi dirinya hanya sebagai pemanjat tebing dan menyimpang ke banyak kegiatan olahraga ekstrim lainnya seperti caving, BASE Jumping, alpine climbing, river running, big wave surfing & banyak lagi. Dia telah bekerja dengan beberapa jaringan televisi & saluran termasuk box office film yang hit seperti Cliffhanger yang dibintangi Sylvester Stallone, bahkan ia pun menulis skenario.

John mengatakan “The champion will quickly learn that it is much easier to become one than to remain one. It’s never crowded at the top, but the queue is long and others are banging at the door.”

Vintage footage of John Long, Lynn Hill & Dave Katz…



10. Dave Graham

Dave Graham adalah orang yang bisa praktis memanjat apa pun. Dia adalah jenis pemanjat yang lebih sering menggoda nasib dari apa yang tampaknya didefinisikan dari standar normalitas. Dia telah melakukan panjatan dari beberapa batu yang paling sulit di dunia & siap untuk menantang dirinya sendiri untuk setiap tantangan olahraga petualangan ekstrim. Dianggap sebagai salah satu boulderers terbaik dari generasinya, dia juga penulis untuk Climbing Magazine website. Dia melakukan pendakian pertama dari The Fly di Rumney (New Hampshire). Anda dapat memeriksa beberapa video keren nya di sini: Rock Climbing For Life.



Ok jadi itulah 10 pemanjat terbaik di dunia. Berniat untuk menjadi salah satu dari mereka??



Source: CAMP ROXX (eng)



http://www.freewebstore.org/Rainier-Indonesia/